Desember 2019.

Sore ini aku pamit lebih dahulu, 

bukan karena tidak ingin tinggal lebih lama, 

tapi makin lama duduk di sana,  di tengah mereka,  aku makin tidak kuat..

ibuku bilang masih rindu,  dan rasanya masih terlalu sebentar katanya aku pulang ke rumah ..

ia memeluk dan mencium kepalaku,  sambil mendoakanku. 

Berbagai kata terucap darinya sembari membantuku bangun dari kursiku, 

seperti biasa,  ia mengingatkanku mengenai berbagai hal,  detail dan tak berkesudahan, seperti biasa.

penuh perhatian,  sangat lembut,  meski cenderung cerewet. 

Ayahku tidak ingin kalah,”lhoh sudah waktunya boarding?  Bukannya jam 4?” tanyanya

“Iya,  aku masuk dulu,  biar nggak buru-buru pak” jawabku

Aku tahu ia masih rindu. 

Tak perlu lah ia tahu,  bahwa aku melakukan itu karena memikirkannya, aku tidak ingin ia kemalaman di tengah jalan , terjebak macet di tengah rentannya ia pusing karenanya.   

tubuhnya sudah begitu lemah, pemahamannya cenderung semakin lambat mencerna sekelilingnya,  

Ia yang bahunya begitu kokoh,  yang selalu mengcover semua kebutuhan dan kesulitan kami,  kini terlihat begitu layu dan lemah.  Meski demikian,  ia masih berupaya keras,  mengcover kami, seperti biasanya.  Dengan tertatih, perlahan,  ia bersikukuh menyetir mobil, mengantarku sampai bandara,  di tengah kemacetan yang saat ini semakin rentan membuatnya pusing di tengah jalan.  

Aku masuk ke dalam, 

dari sisi anjungan antar, di pinggir kaca yang besar,  ibuku melambai kepadaku..pun ayahku.  

Sial, batinku. 

Sayup-sayup dentingan piano instrumental lagu sakti melly goeslaw: “bunda” masih terus diputar di bandara itu.  

Lengkap sudah, oleh pemandangan itu. 

 
Ayah ibuku berjalan sambil melambai terus ke arahku.  Aku menyesuaikan langkahku sembari melambai ke mereka dari kaca anjungan antar itu.  

Sembari menahan tangisku,  aku tersenyum ke arah mereka,  sambil melambaikan tanganku. 

Tak perlu lah mereka tahu sedihku,  

Tak perlu lah mereka tahu lelahku, 

Tak perlu lah mereka tahu betapa keras hidupku, betapa berat beban di punggungku.  

Tak perlu lah mereka tahu betapa rindu aku dimanja mereka, mendengar lembut dan bawelnya perhatian mereka, 

Tak perlu lah mereka tahu,  betapa aku masih ingin tinggal,  dan rindu masa masaku bersama mereka.  

Tak perlu.  

Tak perlu lah mereka tahu,  saat ini aku berpikir,  bagaimana aku harus mengkokohkan punggungku, 

 melihat kondisi mereka yang semakin lemah,  hatiku lemah.  

Mendengar keluh kesah mereka,  hatiku lemah, tidak jadi kuurai kisahku pada mereka. 

Cukup bebanku,  aku yang tahu. 
Bapak ibu harus bahagia, 

aku harus lebih kuat lagi,  tidak boleh cengeng.  

Mereka harus bahagia. 

Aku harus lebih kuat. 

Ujarku berulang,  dalam hatiku. 

Dan saat ini di sini lah aku, 

Di kursi ruang tunggu keberangkatan,  menunggu pesawatku.  

Masih,  diiringi lantunan piano lagu sialan itu.  

Sial.  

Pecahlah tangisku. 

Bapak,  ibu,  aku rindu. 

Doakan,  aku kuat.  

Leave a comment